Latar belakang Sanherib

Riwayat awal

Relief Sargon II, ayah sekaligus pendahulu Sanherib

Sanherib adalah anakanda waris kepada Sargon II, Maharaja Asyur Baru dari tahun 722 hingga tahun 705 SM, merangkap Raja Babel dari tahun 710 sampai tahun 705 SM. Identitas ibu Sanherib tidak diketahui secara pasti. Menurut anggapan umum sepanjang sejarah, ibu Sanherib adalah isteri Sargon yang bernama Ataliya, tetapi belakangan hal ini sudah disangkal. Agar dapat menjadi ibu Sanherib, Ataliya harus lahir setidaknya pada kisaran tahun 760 SM dan hidup sampai setidaknya tahun 692 SM[9] mengingat keberadaan seorang "ibu suri" disebutkan pada tahun itu.[10] Namun, kuburan Ataliya yang ditemukan di kota Nimrud[9] pada era 1980-an[11] mengindikasikan bahwa ia berumur maksimum 35 tahun ketika wafat. Menurut Asiriolog Josette Elayi, lebih mungkin ibu Sanherib adalah isteri Sargon yang bernama Ra'īmâ, kerana tugu prasasti yang ditemukan pada tahun 1913 di kota Asyur (bekas ibu negara Kerajaan Asyur) secara khusus menyebut Ra'īmâ sebagai "Ibunda Sanherib". Keberadaan Ra'īmâ baru diketahui berkat usaha membaca isi prasasti tersebut pada tahun 2014.[9] Sementara itu, Sargon mengaku sebagai anak Tiglat-Pileser III, tetapi pengakuan ini tidak dapat dipastikan kebenarannya kerana Sargon menjadi Raja Asyur dengan cara merebut kekuasaan dari tangan Salmaneser V, anak Tiglat-Pileser.[12]

Kemungkinan besar Sanherib lahir sekitar tahun 745 SM. Jika Sargon benar-benar adalah Putera Tiglat-Pileser dan bukan penyerobot takhta dari luar kalangan keluarga Raja Asyur, maka Sanherib kemungkinan dibesarkan di istana kerajaan yang berada di kota Nimrud. Sargon pun cukup lama berdiam di Nimrud sesudah naik takhta, dan baru pindah ke Babel pada tahun 710 SM, kemudian ke ibu negaranya yang baru, Dur-Syarukin, pada tahun 706 SM. Sewaktu Sargon pindah ke Babel, Sanherib, yang saat itu berstatus Putera mahkota, sudah pindah dari Nimrud ke Niniwe,[2] kota kediaman Putera Mahkota Asyur sejak zaman Tiglat-Pileser.[13] Selaku putera mahkota, Sanherib juga menguasai tanah yasan di Tarbisu. Sanherib dan saudara-saudarinya mungkin dididik guru istana yang bernama Hunnî. Kemungkinan besar mereka diajari ilmu kepujanggaan, ilmu aritmetika, dan kepandaian baca tulis dalam bahasa Sumer maupun bahasa Akad.[2]

Sanherib memiliki beberapa orang saudara lelaki dan sekurang-kurangnya seorang saudara perempuan. Selain abang-abangnya yang sudah wafat sebelum ia lahir, masih ada lagi sejumlah adik lelaki. Beberapa di antaranya diketahui masih hidup pada tahun 670 SM, pada masa pemerintahan Esarhadon, anak Sanherib. Satu-satunya saudara perempuan Sanherib yang diketahui keberadaannya adalah Ahat-abisya. Ia dikawinkan dengan Ambaris, Raja Tabal, tetapi mungkin sekali pulang ke Asyur ketika Sargon memerangi Tabal pada tahun 713 SM.[14]

Nama Sanherib dalam bahasa Akad adalah Sîn-aḥḥē-erība, artinya "Dewa Sîn sudah mengganti saudara-saudaraku yang telah tiada". Mungkin nama ini diberikan kepadanya kerana ia bukan Putera sulung Sargon, tetapi semua abangnya sudah wafat ketika ia lahir. Namanya dilafalkan menjadi Snḥryb dalam bahasa Ibrani dan Šnḥ’ryb dalam bahasa Aram.[5] Menurut sebuah dokumen dari tahun 670 SM (pascakemangkatan Sanherib), rakyat jelata di Asyur dilarang keras memakai nama Sanherib agar tidak melanggar kesuciannya.[9]

Putera mahkota

Sargon II (kiri) berhadap-hadapan dengan seorang pejabat tinggi, yang kemungkinan besar adalah sang putera mahkota, Sanherib

Sebagai Putera Mahkota Asyur, Sanherib memerintah bersama-sama ayahnya, dan kadang-kadang memerintah seorang diri selaku pemangku pada saat Sargon maju berperang. Selama Sargon berada jauh dari jantung wilayah Asyur, kota kediaman Sanherib akan berfungsi sebagai pusat pemerintahan Kemaharajaan Asyur Baru, dan Sanheriblah yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan politik maupun administrasi negara. Besarnya tanggung jawab yang diberikan kepada Sanherib menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan Sargon terhadap putera mahkotanya itu. Pada relief-relief yang menampilkan sosok Sargon bersama Sanherib, keduanya digambarkan sedang berdiskusi seakan-akan sesama rekan sejawat. Selaku pemangku, tugas utama Sanherib adalah menjaga hubungan baik dengan para kepala daerah dan para panglima Asyur, serta mengawasi jaringan luas mata-mata ketenteraan kemaharajaan. Sanherib memantau penanganan urusan-urusan dalam negeri dan mengirim berita kepada Sargon mengenai perkembangan projek-projek pembangunan yang sedang berjalan di seluruh wilayah kemaharajaan.[15] Sargon juga menugasinya untuk menerima dan mendisteribusikan hadiah-hadiah cendera mata maupun persembahan upeti. Sesudah melakukan pendisteribusian sumber-sumber daya finansial semacam itu, Sanherib akan menyurati ayahnya untuk memberitahukan keputusan-keputusan yang sudah diambilnya.[16]

Isi sepucuk surat yang ia alamatkan kepada ayahnya mengindikasikan bahwa Sanherib adalah anak yang berbakti dan akrab dengan Sargon. Sanherib tidak pernah membangkang, bahkan isi surat-suratnya mengindikasikan bahwa ia benar-benar memahami peribadi Sargon dan ingin menyenangkan hatinya. Entah apa alasannya, Sargon tidak pernah mengikutsertakan Sanherib dalam kempen-kempen ketenteraannya. Josette Elayi yakin kalau Sanherib menyesalkan kebijakan ayahnya yang satu ini, kerana membuat dirinya tidak menikmati ketenaran dari kemenangan-kemenangan ketenteraan. Bagaimanapun juga, Sanherib tidak pernah mendurhaka maupun berbuat makar, sekalipun sudah cukup dewasa untuk menjadi seorang raja.[17]

Asyur dan Babel

Wilayah inti Kerajaan Asyur dan Kerajaan Babel di kawasan Timur Dekat pada tahun 900 SM, menjelang lahirnya Kemaharajaan Asyur Baru

Pada saat Sanherib naik takhta, Kemaharajaan Asyur Baru sudah menjadi kekuatan paling dominan di kawasan Timur Dekat selama tiga puluh tahun. Sebab utama dari keunggulan ini adalah angkatan bersenjatanya yang lebih besar dan lebih terlatih daripada angkatan bersenjata kerajaan-kerajaan lain pada masa itu. Walaupun pernah menjadi kerajaan besar, Kerajaan Babel kala itu sudah tidak sekuat Kerajaan Asyur, tetangganya di utara. Sebab kelemahannya adalah perpecahan internal dan ketiadaan angkatan bersenjata yang terorganisasi dengan baik. Rakyat Babel terdiri atas berbagai kelompok etnis yang berbeda prioritas maupun cita-cita. Walaupun tokoh-tokoh bumiPutera Babel yang memegang tampuk pemerintahan sebahagian besar kota di kerajaan itu, misalnya kota Kisy, kota Ur, kota Uruk, kota Barsip, kota Nipur, dan kota Babel sendiri, pelosok terselatan Kerajaan Babel dikuasai kabilah-kabilah Kasdim yang kerap bertikai satu sama lain.[18] Orang Aram mendiami pinggiran wilayah Kerajaan Babel, dan terkenal suka menjarah daerah-daerah di sekitarnya. Akibat pertikaian internal di antara ketiga suku bangsa utama ini, Kerajaan Babel rentan menjadi bulan-bulanan kempen ketenteraan Asyur.[19] Kerajaan Babel dan Kerajaan Asyur sudah berseteru sedari awal berdirinya Kemaharajaan Asyur Madya pada abad ke-14 SM, tetapi pihak Asyur akhirnya unggul secara konsisten pada abad ke-8 SM.[20] Kelemahan internal maupun eksternal membuat Kerajaan Babel dapat ditaklukkan Raja Tiglat-Pileser III pada tahun 729 SM.[19]

Saat berekspansi menjadi kemaharajaan, Kerajaan Asyur menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangganya. Kalau tidak disatukan dengan wilayah Kerajaan Asyur, kerajaan-kerajaan taklukan itu dijadikan negara jajahan. kerana bangsa Asyur menghormati kebudayaan dan sejarah panjang bangsa Babel, Kerajaan Babel dibiarkan tetap berdiri sebagaimana adanya, tetapi kepala negaranya adalah raja yang diangkat Kerajaan Asyur, atau Raja Asyur sendiri yang merangkap sebagai Raja Babel.[19] Hubungan Asyur dan Babel mirip dengan hubungan Yunani dan Romawi berabad-abad kemudian. Banyak budaya, sastra, dan adat-istiadat Asyur berasal dari budaya, sastra, dan adat-istiadat Babel. Asyur dan Babel juga menuturkan bahasa yang sama (bahasa Akad).[21] Hubungan antara Asyur dan Babel bersifat emosional. Prasasti-prasasti Asyur Baru secara tersirat melekatkan gender kepada kedua kerajaan itu. Asyur dikiaskan sebagai seorang "suami", sementara Babel diibaratkan sebagai "isteri" Asyur. Asiriolog Eckart Frahm membahasakannya dengan kalimat, "bangsa Asyur kasmaran dengan Babel, tetapi juga ingin mengekangnya". Walaupun dihargai sebagai sumber peradaban, Babel diharapkan tetap pasif dalam urusan politik, tetapi kenyataannya "mempelai Babel" idaman hati Asyur ini berulang kali menolak bersikap demikian.[22]